Thursday, November 13, 2008

Sepenggal Malam di Praha

Sebuah Esai Foto

1
2 Oct 2008 @ 6.45 pm. Hari sudah memasuki akhir senjakala ketika kami turun dari Eurail di stasiun Hlavni Nadrazi, Praha, setelah menempuh perjalanan 6 jam dari Munich. Praha adalah kota pertama dari rangkaian perjalanan kami ke Eastern Europe, dan hanya ada 2 hari untuk menyelami kehidupan Praha. Saya sadar tak punya banyak waktu disini. Hanya datang dari Munich untuk kemudian pergi lagi, ke Budapest, ke Vienna, dan pulang. Mungkin saja tidak ada lagi kesempatan kembali kesini, ke Praha. Tapi bukankah terkadang memang begitu kata suratan? Rencana nan rinci boleh saja didesain, namun hidup kan berkelanjutan dari satu kebetulan ke kebetulan yang lain. Seperti yang terjadi di senja ini, bukankah Praha hanyalah persinggahan, bukanlah tujuan akhir. Walaupun persinggahan, alangkah indahnya bila persinggahan itu menjadi lebih bermakna daripada suatu tujuan. Agar persinggahan ini lebih bermakna, izinkan saya untuk berbagi sepenggal cerita malam dari kota ini.

Kami akhirnya berhenti di depan apartment Hotel bernama Bologna Residence, setelah sempat berpusing-pusing dahulu karena kekurangcermatan membaca peta. Untungnya residence kami terletak di area old town Praha, sehingga kepenatan yang terasa di kereta segera terbayar ketika kami menyusuri kota tuanya, ditemani temaram lampu jalan dan angin malam yang menusuk. Agenda malam ini adalah agenda tak terjadwal, hanya ingin memuaskan rasa keingintahuan yang dalam tentang kehidupan malam di Praha. Lantas terasa bahwa terkadang jadwal yang kosong tanpa tujuan, tanpa jadwal yang memburu, justru lebih berharga karena memberi peluang untuk berjumpa dengan diri sendiri, sebagai manusia bebas. Saat-saat bertujuan jelas, deadline yang ketat, program yang rinci, hasil yang pasti, tetapi steril dan tanpa hati, masihkah tujuan itu diyakini sebagai suatu yang wajib dan hakiki? Ah, sudahlah… (mendadak sastra…maklum, berguru pada seno gumira ajidarma)

Malam ini kami menyusuri jalanan sepi berbatu disekitar hotel, melangkah pelan diantara bollard, tiang lampu jalan, dan dinding hunian orang Praha, yang telah 1100 tahun menjadi pusat politik budaya Czech, menjadikannya sebagai salah satu kota paling menarik di dunia. Tak heran ketika Unesco memasukkan sepenggal old town Praha ini sebagai world heritage sites, tak lain karena sejarahnya yang panjang, dan berpengaruh ke sekian banyak manusia. Mozart, Franz Kafka, Milan Kundera, Antonin Dvorak, adalah segelintir manusia yang mencapai puncak karirnya karena bersentuhan dengan budaya Praha. Presiden terakhir Cekoslovakia, sekaligus sebagai presiden pertama dari Czech Republic, adalah Vaclav Havel, yang terlebih dahulu menancapkan namanya sebagai sastrawan kondang dari Praha, dan pernah dicalonkan untuk meraih Nobel bidang kesusastraan. Christian Doppler (ingat efek Doppler?), Johanes Kepler sang astronom kawakan, dan juga Albert Einstein, mereka bukanlah penduduk asli Czech, namun menghabiskan masa-masa produktif berkarya dalam hidup mereka di Praha.

Sembari pikiran menyusuri jejak sejarah para pekerja seni Praha, kami pun melangkahkan kaki ke beberapa jalan diantara gedung-gedung tua yang berjejeran, café dan bar di kiri-kanan jalan, ingatan dalam kepala pun memutar ulang adegan-adegan dalam film Before Sunrise, ketika Jesse (Ethan Hawke) dan Celine (Julie Delpy) menyusuri Vienna di keheningan malam, bertukar roman dan hasrat sembari menyusuri setting kota tua, untuk menghabiskan malam sebelum mereka berpisah di keesokan harinya. Bila saja saya diminta menjadi sutradara, setting kota dan plot cerita akan saya pindahkan ke Praha, dengan sebagian besar adegan diplot menyusuri Charles Bridge, tepian sungai Vltava, dan old town square Praha.

Malam ini perjalanan menyusuri romantisme kota tua Praha berakhir di sebuah Klub Architektu, yang ternyata sebuah galeri arsitektur dan bookshop. Sayang, keduanya sudah tutup ketika kami menjejakkan kaki di halamannya. Adalah sebuah bunker, yang tak dinyana sebuah café, yang kami temukan. Sebuah cafe yang unik, tetapi ternyata didalam cukup ramai oleh pengunjung. Saya membayangkan, pada masa perang dingin ketika masih tergabung dalam blok timur, mungkin bunker ini adalah tempat para petinggi atau antek komunis mengadakan rapat gelap atau pertemuan rahasia. Jadilah kami menghabiskan dinner pertama di Praha, dalam sebuah bunker di galeri arsitektur, yang ternyata sangat mengundang selera makan dengan variasi menunya (dan juga waitress-nya), sampai-sampai keesokan harinya tak ada suara-suara yang menolak ketika diputuskan untuk kembali dinner di bunker tersebut.

Dalam perjalanan kembali ke hotel, kami menyempatkan untuk melewati tepian sungai Vltava, dimana Charles Bridge yang juga ikon wisata Praha terlihat anggun, sedikit misterius namun sangat terasa aroma eksotisme eastern Europe-nya. Tak seperti kebanyakan jembatan di Asia timur yang bermandikan cahaya, Charles Bridge hanya diterangi dengan lampu seadanya, namun justru makin menambah nuansa romantisme (dan aura sosialisme) pada pedestrian bridge tersebut. Saya tahu mungkin akan mendapat cerita lebih menarik bila kami memutuskan untuk melintasi Charles Bridge, namun sebentar lagi malam akan beranjak ke dini hari. Jika kami mengikutinya, mungkin akan terhanyut, berkelana dari bar ke bar, café, serta tempat hiburan malam yang mempertontonkan atraksi kaum gay atau eastern girls-nya yang sungguh menggoda. Mungkin juga terhanyut ke dalam kisah suram kaum gypsy di eropa timur yang semuanya berkaitan dengan tipu daya pemerasan terhadap turis. Angin dingin dan kabut tebal yang dibawa oleh fall season yang menyapu wajah kami sehingga membatalkan niat untuk menyusuri jembatan tersebut di lepas tengah malam tersebut.

12 Oct 2008 @ 11.45 pm. Setelah malam ini, saya tak tahu kapan bisa menyaksikan romantisme Praha lagi.

(all photos courtesy of urbane crews)

No comments: