Monday, October 27, 2008

Munich

Apa yang terlintas dalam pikiran anda ketika mendengar kata Munich? Ketika diminta membuat tulisan tentang Munich, yang pertama kali terlintas dalam pikiran adalah Black September, 1972, Film ‘Munich’ oleh Steven Spielberg, BMW, dan Bayern Munich. Black September 1972 adalah peristiwa penyerangan atlet Israel oleh teroris yang menodai Olimpiade Munich tahun 1972. ‘Munich’ adalah salah satu film nominasi Oscar dari Spielberg yang dibintangi oleh Eric Bana dan Daniel Craig, yang mengisahkan episode kelam dari Olimpiade Munich tersebut. Markas besar dan Museum BMW ada di kota ini. Dan Bayern Munich, siapa penggemar sepakbola yang tidak kenal dengan klub ini? Bayern Munich adalah klub tersukses di Jerman dan ditakuti seantero Eropa. Stadion Allianz Arena sebagai kandang Bayern, adalah stadion termegah dengan desain modern di Eropa. Menurut Wikipedia, Munich adalah kota terbesar ketiga di Jerman (setelah Berlin dan Hamburg). Dan menurut Skytrax, meskipun bandara Franz Josef Strauss Munich masih kalah besar oleh bandara Frankfurt, bandara Munich adalah bandara terbaik se-Eropa atau no 3 terbaik di dunia setelah HKIA dan Changi.

Ketika berkesempatan mengunjungi Munich pada bulan October 2008, dalam rangkaian acara eastern Europe architectour , makin terasa keinginan untuk menjajal secara langsung tempat2 yang sudah disebutkan diatas. Jika biasanya hanya bisa melihat di layar kaca atau membaca di majalah, tentu akan sangat berbeda rasanya dengan berdiri di sana dan merasakan langsung auranya, menyentuh obyeknya, on the spot, watching live dengan mata kepala sendiri.

Munich di bulan October adalah fall season, dengan kabut di pagi hari menyambut kami di bandara, setelah menempuh perjalanan panjang dan melelahkan dengan Etihad Airways, flagship-nya UAE. Tak perlu diceritakan pengalaman transit di Abu Dhabi selama 6 jam yang membosankan, karena apa yang menunggu di Munich jauh lebih menarik. Bandara Munich cukup besar untuk dijelajahi, namun kami tidak berlama-lama disana karena dengan signage yang cukup jelas, tanpa terasa sudah terhubung dengan hub terminal S-bahn, rute S8, yang siap mengantar kami ke Hauptbahnhof, central station di tengah kota.

Munich di pagi hari, adalah sebuah kota yang dingin berangin, daun2 maple berguguran, kabut, sepi, mungkin karena belum memulai aktivitas kotanya. Hari itu adalah hari Sabtu pagi, saat dimana orang pada malam sebelumnya menghabiskan weekend nite-nya hingga larut malam, sehingga seisi kotanya pun tampak masih tertidur. Hanya ada beberapa orang berlalu lalang di pedestrian kota, dan sesekali mobil2 produk dalam negeri sejenis Porsche, BMW maupun Mercedes yang melintas di jalan lebar yang lengang, pemandangan yang mungkin hanya bisa disamai oleh Jakarta di hari pertama Lebaran, minus kabut paginya.

Munich dalam 3 hari, seperti judul film : 3 hari untuk selamanya. Kesempatan untuk menjajal ruang kota Munich memang hanya sedikit, yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mendapatkan esensi, feeling, atmosfer, perilaku, rasa ruang dan waktu tentang Munich. Disinilah Google Maps dan Peta Kota menjadi penting, karena sesungguhnya tidak mungkin menjelajahi kota ini hanya dalam waktu singkat. Tidak ada ruang untuk nyasar, atau menyasarkan diri, karena akan sangat sayang sekali jika waktu terbuang percuma, tanpa berada didalam Olympia park, atau di marienplatz, atau di sepanjang isartor riverwalk yang romantis. Seperti judul film, kesan yang tertinggal dalam memori selama berada 3 hari di kota Munich, adalah memori 3 hari yang tertinggal untuk selamanya.

Munich Day 01. Tak pernah terbayangkan nikmatnya berada dalam hiruk pikuk penonton yang berada dalam stadion Allianz Arena yang megah itu, sedang menyaksikan Bayern Munich bertarung dengan jawara2 eropa lainnya seperti Juventus, Barcelona, maupun klub2 bundesliga lainnya. Maka ketika tiba saatnya berkunjung ke Munich, jelas tak akan terlewatkan momen melawat ke markas FC Bayern tersebut. Sayang seribu sayang, pada Sabtu itu sedang tidak ada pertandingan, lokal maupun internasional. FC Bayern sedang bertanding away, sedangkan TSV Muenchen 1860 yang juga bermarkas di Allianz juga sedang tidak bertanding. Namun tak apalah, yang penting bisa menginjakkan kaki di pelataran Allianz Arena saja sudah menimbulkan sensasi yang luar biasa. Rasanya para fans klub lain yang kebetulan bertandang kesini, bisa jadi akan berpindah ke lain hati, menjadi fans berat FC Bayern Munich.

Stadion Allianz Arena didesain oleh Herzog-DeMeuron, biro arsitek yang berasal dari Basel, Swiss. Stadion ini adalah stadion pertama di dunia yang seluruh kulit luar (façade) nya dapat berubah warna secara penuh, dengan warna tertentu melambangkan makna tertentu. Ketika stadion sedang menyala dengan warna merah, berarti si empunya stadion sedang bermain yaitu FC Bayern Munich. Ketika berwarna biru, berarti co-host stadion yang bermain, yaitu TSV 1860 Munich. Dan ketika menyala putih, adalah tim nasional Jerman yang sedang bertanding. Mulai diresmikan pada Mei 2005, dengan kapasitas tempat duduk hingga 70k penonton, dapat dengan mudah dicapai baik dengan private car maupun dengan U6 line U-bahn dari Frottmaning station. Pembukaan FIFA World Cup 2006 pun digelar di Allianz Arena ini.

Seperti laiknya barang2 berteknologi Jerman, stadion ini pun sarat dengan teknologi canggih. Seluruh fasadnya terdiri dari ETFE-foil air panels yang bertekanan tinggi. ETFE sendiri adalah polimer fluorocarbon yang berbasis plastic, yang mempunyai resistensi tinggi terhadap korosi, mampu menahan rentang temperature yang lebar, dan tidak beracun ketika terbakar. Material ini serupa (tapi tak sama) dengan material yang digunakan oleh Watercube di Beijing. Dan teknologi canggih tidak selalu harus mahal, bahkan untuk menyalakan seluruh fasad Allianz Arena, hanya diperlukan biaya 50 Euro per jam pemakaian.

Rasanya tiada henti untuk mengagumi keindahan stadion ini. Sejak turun dari U-Bahn, memandang ke kejauhan dimana Allianz Arena berada, seperti berjalan menuju ke sebuah titik sensasi dari sebuah stadion, yang berakhir dengan kesimpulan bahwa seperti inilah semua stadion sepakbola seharusnya dibangun. Get closer, feel the sensation… Ramah lingkungan, desain hemat energi, teknologi, ergonomis, public spaces, structure and construction, megastores, souvenir, adalah beberapa tags yang akan didapatkan, bahkan tanpa harus merasakan, menyaksikan langsung event yang terjadi, sebagai penonton.


Pun pada malam terakhir di Munich, sangat sayang untuk melewatkan kehebohan Allianz Arena. Harap-harap cemas karena tahu tak ada pertandingan, ternyata dari kejauhan stasiun Frottmaning, terlihat dengan jelas keelokan stadion yang bermandikan cahaya, seolah-olah sebuah makhluk asing yang bersinar ditengah kegelapan lingkungan sekitarnya. Meskipun tak ada hiruk pikuk penonton, sangat mudah membayangkan suasana ramai pasar malam yang terjadi di areal ini bila sedang ada event sepakbola. Dramatis dan sensasional, ketika tepat jam 9 malam, warna putih cerah yang meliputi fasad tiba-tiba berubah menjadi merah menyala. Akan lebih dramatis lagi bila saat itu FC Bayern Munich sedang mencetak gol dan meraih kemenangan pada malam itu…

Masih di hari yang sama, kecanggihan teknologi Jerman beralih ke BMW World, orang sana menyebutnya BMW Welt. Berlokasi di sekitar Olympia Park, disinilah segala hal2 yang berbau BMW dan komunitasnya bernaung. Berbeda dengan Allianz Arena, venue ini adalah fasilitas multifungsi dari BMW Group untuk pameran, konferensi, customer experience dan showroom. Berseberangan dengan bangunan silinder BMW Headquarters yang bertahun-tahun menjadi ikon kota Munich dengan logo terkenal di puncak bangunannya, dan BMW Museum tepat disamping tower HQ, BMW Welt ini menawarkan desain arsitektur kontemporer yang eye-catching, selain karena fungsinya sebagai showcases produk2 BMW, juga sebagai ajang ekspresi kemajuan teknologi design, material dan teknologi otomotif Jerman.

Coop Himmelb(l)au –lah biro arsitek yang ketiban pulung untuk mewujudkan impian petinggi2 BMW Group. Dan arsitek pun mewujudkannya dengan membuat bangunan yang didominasi oleh glass, aluminium dan solar plants berkapasitas 800 KW sebagai rooftop. Kata Wolf Prix, salah satu pendiri Coop Himmelblau, "the building does not have the boredom of a hall, it is not only a temple, but also a market place and a communication center and meeting place for knowledge transfer"… Ya begitulah, tiba-tiba kota Munich mempunyai ikon arsitektur baru yang wajib dikunjungi oleh arsitek2 sedunia, yang mengagumi aliran dekonstruksi. Akan terlalu panjang, dan mungkin juga salah, jika desain arsitektur BMW Welt ini akan dituangkan dalam kata-kata dan makna interpretasi sendiri. Sebaiknya, datang, lihat, dan rasakan sendiri. Arsitektur adalah soal perasaan. Indah, megah, mahal, canggih, modern, dekonstruksi, semuanya adalah perasaan. Masing-masing.

Tiada yg lebih indah daripada mengakhiri hari di sebuah taman kota Munich yang bernama Olympiapark. Hanya sepelemparan batu dari BMW Welt, taman ini adalah bagian dari sebuah masterplan yang dibangun untuk sebuah perhelatan akbar bernama Olimpiade 1972. Tidak semua fasilitas olimpiade masih tersisa dalam areal ini, namun ciri khas utamanya berupa Olympic stadium, dengan tensile structure-nya yang eye catching, masih berdiri dengan kokoh. Olympic stadium didesain oleh arsitek lokal yaitu Otto Frei. Beberapa orang menyebutkan bahwa, karena didesain dalam sebuah masterplan yang didominasi oleh taman kota, Olimpiade Munich 1972 adalah the real Green Olympics Games.

Beberapa fasilitas peninggalan Olimpiade Munich 1972 yang masih tersisa diantaranya adalah Olympic Tower dan Olympic Hall. Ada juga Olympic Swim Hall dan Olympic Event Hall. Kesemuanya masih difungsikan untuk kepentingan public, seperti kolam renang, arena futsal, dan beberapa area untuk outdoor sport. Olympic Tower-nya sendiri saat ini juga masih berfungsi untuk keperluan telekomunikasi. Yang tidak terlihat (atau tak terekam dalam sekilas kunjungan ke Olympiapark) adalah Olympic Village-nya, sayang sekali. Kisah kelam tragedy Munich mungkin akan terbayang lebih jelas bila sempat ke village-nya. (photo : wikipedia)

Hari sudah memasuki pukul 7 malam walau masih cukup terang, Olympiapark sudah mulai kehilangan aktivitas luarnya. Café dan kiosk mulai tutup, rental segway personal transporter sudah gulung tikar, orang2 yang berlalu lalang sekedar refreshing maupun jogging sudah mulai menghilang dari pandangan. Dasar melayu, café yang sudah tutup pun masih ditongkrongin, meskipun meja2 disekitar sudah kosong melompong. Kan belum jam 9 malam? Itulah kehidupan orang2 di Eropa, hidup harus dinikmati bersama. Jam 7 malam adalah waktu dimana semua kegiatan seharusnya berakhir, dan setelah itu adalah waktu untuk keluarga. Bila masih ada kehidupan malam hari di luar rumah, kemungkinan itu adalah aktivitas clubbing, aktivitas para lajang, atau turis-turis yang nyasar mencari souvenir shop, seperti kami.

Malam hari di Munich, hampir seluruh denyut kehidupan kota ikut berhenti. Aktivitas berpindah ke dalam rumah bagi sebagian besar warga, namun masih tersisa beberapa atraksi di Marienplatz, seperti acara doa bersama di patung Virgin Mary, ditengah-tengah plaza. Tersadar, foto yang dipajang pada patung tersebut adalah foto Joseph Radzinger, mantan Kardinal Jerman yang sekarang ditahbiskan sebagai Paus bagi umat Katolik sedunia. Sekilas menelusuri malam di marienplatz , tidak salah lagi bahwa besok akan menjadi hari yang sangat indah bagi para shopaholic. Ya, daerah ini adalah daerah wisata belanja yang sangat terkenal di Munich.

To be continued… Munich – Day 02

2 comments:

Andi Muhlis said...

Wow... bagus sekali ces. Setelah jalan2 trus ada laporan pandangan mata seperti ini. Serasa ikut menikmati. Sayangnya foto-fotonya kurang banyak ...

irvanpd said...

okay, utk foto2 ada sesi khususnya nanti, mungkin tdk masuh di blog krn terlalu byk foto2 detail... tunggu tanggal mainnya, foto2 detail nanti diupload di flickr atau facebook...